Sabtu, 21 September 2013

Protes terhadap ketidak-perdulian sosial!! Minimnya simpati dan rasa cinta

Sedikit flashback ke masa lalu..saat dimana kegilaan dan keprihatinan mulai menjadi subyek pemerhati.

Sedikit cerita waktu aku masih kuliah..aku menemukan cerita yang sedikit menggunggah naluriku untuk berfikir ulang, tentang kebaikan apa yang telah kita berikan dan sampai seberapa jauh aspek moralitas kita dapat kita gali, hanya untuk mensyukuri kehidupan yang telah Allah berikan kepada kita hingga detik ini. Coretan di bawah aku ber judul..

Kisah gadis penjual kacang dan Seorang maestro lukis gila

Cerita pertama

Kisah gadis penjual kacang..

Seperti biasa setelah latihan teater, kita selalu menyempatan untuk melepaskan penat sambil mencari inspirasi dibeberapa sudut di kota solo. Latihan pada hari itu menginjak bulan ke-2, dari perencanaan 6 bulan sesi latihan sebelum pementasan utama drama teatrikal "Pat Gulipat" di Taman Budaya Solo, semua kita jalani, mulai dari latihan skenario, perencanaan setting pentas, koreografi, pendalaman rasa, dan pencarian musik dan instrumental chord dalam mengiringi pementasan, lighting dan beberapa aspek pendukung lainnya.

Ada tugas saya dan beberapa rekan lain yang melakukan akting, yaitu, pendalaman rasa, proses ini kita lakukan langsung dengan melihat subject yang memiliki pekerjaan yang sama atau paling tidak mendekati dengan karakter yang kita mainkan. Memang sangat sulit, dan yang lebih menakutkan lagi jika kita sudah berhasil menemukan karakter tersebut dan sangat mendalaminya, jika kita tidak dapat mengendalikannya, karakter tersebut akan mendominasi cara berfikir dan temperamental kita. Tidak sedikit teman-teman yang terdominasi dengan karakter yang mereka perankan, dan jika sudah begitu kita sebut mereka dalam keadaan "ngancing" atau dalam bahasa Indonesianya (terkunci).

Dan butuh beberapa minggu, hingga akhirnya mereka kembali dengan sifat asli mereka yang ngaco. Dalam proses pencarian karakter tersebut, saya sempatkan untuk kumpul dengan beberapa temen di Manahan, yang dulu tempat kita sering nongkrong di hiknya Pak Kumis, waktu masih di pinggir trotoar jalan manahan, sebelum ada penertiban dan relokasi.

Waktu teman-teman asyik mengobrol, pada waktu itu pukul 23.00 wib, aku memperhatikan dari ujung jauh trotoar ada perempuan kecil kalau nggak salah umur antara 9-10 tahun, dia menuntun sepeda jengkinya dengan ranjang didepan yang berisi tas plastik hitam, dan masih bercokol duduk diboncengan belakang sepedanya adalah bocah laki-laki kecil yang masih berumur 6 tahun, mencoba berpegangan erat di dudukan kakaknya, menjaga agar tidak terjatuh.

Perempuan kecil itu berhenti beberapa kali, di pelanggannya Pak Kumis yang memang kebanyakan berkelompok dan menyewa tikar yang sudah disediakan. Dari beberapa pemberhentian gadis itu, dia hanya mampu menjual beberapa bungkus kacang "godhog" (rebus) yang dia bawa.

Sampai di tempat kita, dengan segala keraguan yang dia miliki, dia mencoba menawarkan kacangnya, salah satu temanku sempat menolak, dan sesaat sebelum dia beranjak pergi, aku panggil gadis kecil itu dan adiknya untuk duduk bersama kita, bahkan para temanku yang perempuan mencoba untuk membujuk mereka agar makan bersama, tapi gadis kecil itu bersikeras menolaknya.

Ada ketakutan yang dia simpan, tapi yang jelas bukan karena takut dengan orang-orang disitu karena waktu dia menawarkan dagangannya dia mental sekali, ini adalah ketakutan yang lain, spontan aku jadi penasaran, dan aku minta mereka mendekat untuk membawakan dagangan mereka.

Akhirnya, adik gadis itu turun dari boncengan dan ikut mendekat bersama kakaknya yang membawakan barang dagangan, aku minta mereka menghitung kacang yang masih tersisa, waktu itu kalau tidak salah masih sekitar 34 plastik. Aku bilang akan membeli semuanya asal mereka mau duduk dan makan bersama kita, dengan sedikit sembulan senyum di bibir kedua bocah tersebut mereka akhirnya mau.

Mereka makan dengan lahap sekali, seakan sangat disayangkan jika ada sisa nasi dipiringnya, dan kami merasa puas melihat hal itu. Selesai makan, aku biarkan mereka duduk sebentar bersama kami sambil menikmati lagu-lagu yang kami mainkan, dan mau tidak mau mereka harus menunggu karena uang untuk kacang belum aku kasihkan, dan setelah mereka terlihat enjoy aku menanyakan beberapa hal kepada gadis itu.

Ternyata ibu gadis itu meninggal sekitar 2 tahun yang lalu, dan bapaknya adalah seorang pekerja bangunan yang mempunyai kebiasaan mabuk sepeninggal ibu mereka, uang yang bapak mereka dapatkan dari pekerjaannya hanya dia habiskan untuk minuman, dan kedua bocah tersebut hidup dari perhatian para tetangganya, dan dari beberapa uang yang dikumpulkan gadis itu dari tetangganya dia belikan kacang dipasar dan dia rebus sendiri untuk dijual lagi sebagai kacang godhog.

Sisa hasil penjualan dia sisihkan untuk spp bulanan sekolah adiknya, dan gadis itu mengatakan bahwa hampir sebagian besar kacang yang dia bawa terjual dengan cukup lumayan, dan bahkan sangat sering habis, karena memang sangat asyik ngobrol dengan diiringi cemilan kacang apalagi yang masih hangat. Saya tanya apakah bapaknya tahu tentang aktifitas jualan mereka, dia menjawab bahwa bapaknya tahu dan nggak ngomong apa-apa.

Setelah beberapa saat ngobrol bersama, aku kasihkan uang pembelian kepadanya, dia merasa senang karena uang yang aku berikan 2x lipat bahkan lebih dari jumlah dagangan itu sendiri, dan yang lebih membuat aku prihatin, bahwa dia mengatakan kepada adiknya bahwa mereka bisa tidur lebih awal malam ini, karena biasanya mereka berkeliling hingga jam 1 pagi.

Gadis itu tidak tega meninggalkan adiknya sendirian dirumah dan adiknya sendiri juga takut ditinggal dan selalu minta ikut, karena mereka tidak memiliki saudara lain yang bisa menjaganya. Dan bapaknya sendiri pergi dari sore dan pulang jam 2 kadang jam 3 pagi dalam keadaan mabuk.

Yang membuat aku terus berfikir tentang pertemuan kala itu, aku hanya membiarkan mereka berlalu pergi, karena memang aku tidak bisa berbuat banyak dalam hidup mereka.

Itulah pertemuan pertama dan terakhirku dengan kedua bocah tersebut, kadang kalau saya tunggu mereka di manahan, mereka tidak pernah muncul, aku hanya berfikir positif bahwa mereka menamukan tempat lain yang lebih ramai dan lebih cepat dalam menjual barang dagangan mereka.

Hingga detik ini, aku masih saja terngiang dan jika sudah teringat, aku selalu saja mendoakan sebuah keajaiban yang dapat merubah hidup mereka.

Subhanallah...sungguh kita harus bersyukur dan terus bersyukur dengan apa yang kita miliki sekarang, karena sebenarnya materi tidaklah kekal, tapi apa yang kita berikan dalam mensyukurinya setiap waktu akan abadi ditorehkan disisiNya. Amin

 -----------------------------------------------------------000---------------------------------------------------------

Kisah Maestro lukis gila

lanjut besok ah...ngantuk...